Oleh: Zul Kasman, S.Sos., M.Si
Direktur Eksekutif Agora Research Center
Di tanah tempat saya dibesarkan, laut bukan sekadar bentangan air asin, tetapi ruang hidup yang menopang harapan keluarga, sekaligus saksi dari kebijakan yang sering tak berpihak kepada masyarakat pesisir.
Provinsi Kalimantan Utara (Kaltara) memiliki potensi luar biasa dalam sektor perikanan, khususnya pada komoditas unggulan udang windu (Penaeus monodon). Sektor Pertanian, Kehutanan, dan Perikanan menjadi kontributor terbesar kedua terhadap Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Kaltara, yakni sebesar 14,94% (BPS, Mei 2025). Capaian ini menunjukkan peran strategis sektor perikanan dalam mendorong pertumbuhan ekonomi daerah. Dengan luas tambak mencapai 106.134 hektare (BRGM, 2024), Kaltara telah berkembang menjadi salah satu sentra utama produksi udang windu nasional.
Data ekspor menunjukkan bahwa pada tahun 2023, provinsi ini berhasil mengekspor lebih dari 7.000 ton udang dengan nilai mencapai Rp1 triliun (BKIPM, 2023). Namun, di balik angka-angka fantastis ini tersembunyi masalah struktural yang mengancam keberlanjutan industri. Kualitas benih yang rendah, ketergantungan pada benih impor, minimnya hatchery lokal, kurangnya pengetahuan budidaya yang baik, dan penanganan pascapanen yang menyebabkan turunnya mutu membuat petambak berada di ujung tanduk. Ketimpangan dalam rantai pasok menjadikan posisi tawar petambak sangat lemah dibandingkan eksportir dan pemilik cold storage yang memiliki akses pasar lebih luas.
Menilik Akar Masalah: Kekuatan Angka, Lemahnya Posisi Petambak
Produksi udang windu di Kalimantan Utara (Kaltara) menunjukkan tren positif dalam beberapa tahun terakhir. Pada 2021, produksi mencapai 9.159 ton, naik menjadi 9.334 ton di 2022, dan melonjak ke 9.808 ton pada 2023. Bahkan, pada 2024, produksi menyentuh angka 9.923 ton, menjadikan Kaltara sebagai produsen terbesar keempat secara nasional setelah Jawa Barat, Kalimantan Timur, dan Aceh (KKP, 2024). Sebagian besar produksi ini ditujukan untuk ekspor, dengan Jepang sebagai pasar utama yang menyerap sekitar 70% dari total ekspor. Negara-negara tujuan lainnya meliputi Amerika Serikat, Hong Kong, Taiwan, Prancis, Kanada, Inggris, Korea Selatan, Australia, Swiss, Vietnam, dan Singapura.
Namun, di balik tren produksi yang meningkat ini, terdapat tantangan mendasar yang masih membayangi sektor budidaya udang windu. Salah satu penyebab utamanya yaitu kurangnya pemahaman dan penerapan teknik budidaya yang sesuai dengan standar nasional. Kementerian Kelautan dan Perikanan telah mengeluarkan Peraturan Menteri Nomor 75/PERMEN-KP/2016 tentang Pedoman Umum Pembesaran Udang Windu. Rendahnya penerapan standar ini menyebabkan produktivitas menjadi fluktuatif, terutama akibat serangan penyakit yang disebabkan oleh virus dan bakteri, masalah yang sebenarnya bisa diminimalkan dengan penerapan prinsip-prinsip budidaya yang baik.
Ketidakmampuan petambak dalam mengakses pengetahuan teknis dan praktik budidaya yang benar berdampak langsung pada angka kelangsungan hidup (survival rate) udang windu yang masih rendah, berkisar antara 20–30 persen. Tak hanya itu, lemahnya manajemen pascapanen juga menyebabkan mutu udang menurun. Akibatnya, harga jual di tingkat petambak menjadi rendah dan kurang kompetitif. Kondisi ini sangat berbeda dengan pembudidaya yang telah menerapkan standar Cara Budidaya Ikan yang Baik (CBIB) dan memperoleh sertifikat, yang tidak hanya mendapatkan harga jual lebih tinggi tetapi juga mampu memenuhi persyaratan untuk memasuki pasar ekspor.
Kegagalan Pasar: Asimetri Informasi
Permasalahan krusial lainnya yang membelit sektor budidaya udang windu di Kalimantan Utara yaitu terjadinya kegagalan pasar, yang ditandai dengan asimetri informasi. Mayoritas petambak tradisional tidak memiliki akses terhadap informasi penting terkait peluang pasar, harga jual aktual ditingkat ekspor, serta negara tujuan dan persyaratan ekspor. Akibatnya, mereka tidak tahu ke mana udang windu hasil panennya dikirim, berapa harga jual akhirnya, dan bagaimana mekanisme pembentukan harga terjadi. Dalam posisi lemah ini, petambak hanya bisa menerima harga yang ditentukan sepihak oleh eksportir atau pengusaha pengumpul.
Ketimpangan ini diperparah oleh regulasi yang tidak adaptif dan kurang efektif dalam melindungi serta mendorong inovasi produksi. Banyak petambak masih beroperasi dalam tekanan ketidakpastian mulai dari harga yang fluktuatif, pasokan benih yang tidak terstandarisasi, hingga akses pasar yang berubah-ubah tanpa kejelasan jangka panjang. Ketika kebijakan harga dan tata niaga ekspor gagal memberikan stabilitas dan kepastian, petambak kecillah yang paling terdampak. Mereka tidak memiliki daya tawar dihadapan eksportir besar yang menguasai rantai nilai perdagangan, dari hulu hingga hilir.
Harga udang windu sangat ditentukan oleh pasar global. Namun ironisnya, Kalimantan Utara belum memiliki mekanisme stabilisasi harga yang bisa melindungi petambak saat pasar jatuh. Petambak terpaksa menjual dengan harga rendah saat panen berlimpah atau saat ekspor tersendat. Dalam kondisi seperti ini, eksportir dan pengusaha besar yang memiliki modal, gudang beku, dan akses jaringan internasional tetap bisa bertahan sementara petambak hanya berharap bisa balik modal.
Hilirisasi Perikanan: Peluang yang Belum Dimaksimalkan
Kontribusi nilai tambah dari sektor ini masih sangat terbatas karena sebagian besar udang dijual dalam bentuk bahan mentah (raw shrimp), tanpa proses pengolahan lanjutan. Hilirisasi memiliki potensi besar untuk meningkatkan pendapatan petambak, menciptakan lapangan kerja, serta memperkuat ketahanan ekonomi daerah. Peluang besar terbuka untuk produk-produk turunan seperti udang kupas, nugget, hingga pasta udang premium. Namun minimnya investasi pada unit pengolahan hasil (UPH), lemahnya dukungan teknologi, dan terbatasnya akses pembiayaan menjadi hambatan utama.
Petambak dan pelaku UMKM pengolahan tidak memiliki informasi cukup mengenai preferensi pasar domestik maupun internasional, serta jaringan distribusi yang kompetitif. Akibatnya, Kalimantan Utara yang seharusnya menjadi episentrum industri udang windu, justru hanya menjadi “pemasok bahan mentah” bagi industri di luar daerah. Nilai tambah dinikmati oleh segelintir pelaku besar, sementara petambak di pesisir tetap bergelut dengan biaya produksi yang mahal dan akses pasar yang sempit.
Adaptive Governance: Solusi Tata Kelola Responsif
Sudah saatnya negara hadir lebih konkret. Regulasi yang tidak berjalan efektif menghambat inovasi dan efisiensi produksi, sementara kebijakan harga dan ekspor yang tidak stabil menciptakan ketidakpastian bagi petambak. Banyaknya aktor yang terlibat dan dinamika kepentingan membuat kebijakan sering berubah. Pendekatan konvensional yang mengandalkan kendali penuh pemerintah menjadi kurang relevan, sehingga diperlukan tata kelola adaptif agar kebijakan lebih fleksibel, partisipatif, dan responsif terhadap dinamika pasar serta kondisi lingkungan.
Menurut Cosens (2012), adaptive governance mampu menghadapi dinamika kompleks sosial-ekologis. Empat pilar utamanya yaitu kolaborasi, pembelajaran, fleksibilitas, dan ketahanan (Brunner et al., 2005) menjadi fondasi yang dapat menjawab persoalan Kaltara.
Dengan kolaborasi yang kuat, mekanisme seperti kesepakatan harga antara petambak dan eksportir dapat dilaksanakan secara lebih adil. Proses pembelajaran berkelanjutan memungkinkan kebijakan dievaluasi dan diperbaiki sesuai perkembangan pasar. Fleksibilitas kebijakan memungkinkan respon cepat terhadap krisis harga atau gangguan produksi. Sedangkan ketahanan sistem memperkuat posisi petambak dalam menghadapi tekanan pasar global.
Menuju Transformasi Kebijakan
Beberapa rekomendasi kebijakan yang dapat dikedepankan meliputi: 1) Membangun sistem harga referensi udang windu berbasis analisis biaya produksi, permintaan pasar, dan kondisi ekspor; 2) Meningkatkan kapasitas hatchery lokal agar petambak tidak lagi tergantung pada benih dari luar daerah atau luar negeri; 3) Membangun platform dialog multi-aktor yang melibatkan petambak, akademisi, dinas teknis, dan eksportir: 3) Mendorong diversifikasi pasar dengan memperkuat pangsa pasar domestik. 4) Mengintegrasikan teknologi informasi dan big data dalam monitoring harga dan volume produksi.
Menuju Kedaulatan Perikanan dan Keadilan Ekonomi
Jika tata kelola adaptif berhasil diterapkan, maka industri udang windu tidak hanya akan meningkat dari sisi produksi dan nilai ekspor, tetapi juga menjamin keberlanjutan lingkungan serta kesejahteraan petambak sebagai aktor utama. Dengan demikian, Kaltara bisa menjadi contoh keberhasilan daerah dalam membangun kedaulatan pangan laut berbasis kolaborasi dan inovasi kebijakan.
Discussion about this post