NRT, Tanjung Selor: Beredar pemberitaan di beberapa platfom media online dan media sosial terkait pernyataan Ketua DPRD Provinsi Kalimantan Utara (Kaltara), Achmad Djufrie yang membenarkan nilai mata anggaran perjalanan dinas (Perdin) yang menjadi polemik.
“Kenyataannya memang begitu sesuai Tupoksi pekerjaannya yang mungkin mereka ada tugas yang sudah sesuai dengan pekerjaannya. Kalau soal pangkas anggaran itu kembali ke Gubernur saja, karena itu rumahnya Pemerintah,” kata Ketua DPRD Kaltara, Achmad Djufrie.
Saat dikonfirmasi terkait tindak lanjut akan ditempuhnya jalur hukum, Pelaksana Tugas Kepala Biro Hukum Pemprov Hasnan Mustaqim, S.H., M.Hp., melalui Bagian Bantuan Hukum, Indrayadi Purnama Saputra, M.H., mengatakan bahwa sebelumnya sudah sangat jelas diterangkan oleh Ketua Komisi Informasi (KI) Kaltara, itu hanya usulan di Raperda dan Rapergub yang sifatnya masih berpotensi terjadi pergeseran atau perubahan .
“Toh, juga sudah dijelaskan oleh Ketua KI Kaltara langsung bahwa informasi itu hoaks. Data yang mereka beritakan itu merupakan usulan Raperda dan Rapergub, yang artinya masih berpotensi terjadi pergeseran atau perubahan. Apalagi itu data sebelum efisiensi dan belum ditandatangani yang berwenang. Dan ternyata betul, terjadi perubahan, sehingga otomatis data angkanya juga berubah sesuai apa yang diterangkan oleh Ketua KI Kaltara,” tutur Indra menjelaskan.
Dikatakan Indra bahwa tuduhan dalam pemberitaan media terkait, bukan hanya soal Perdin, tetapi juga ada beberapa item lainnya.
Yang kita persoalkan di sini ‘kan bukan hanya soal data angka Perdin, tetapi juga data angka-angka item lainnya yang dituduhkan ke Pemerintah. Soal etika jurnalistik yang mengkritik kebijakan publik tapi tidak menyertakan regulasi, murni hanya menggiring opini untuk mendiskreditkan, itu juga dibuktikan dengan narasi judul dan isinya yang membandingkan antara insentif guru dengan Perdin, kan tidak apple to apple. Apalagi terkait insentif guru itu sudah jelas diikat oleh regulasi,” tegas Indra.
Indra menilai bahwa isu Perdin itu hanyalah upaya pembenaran yang dilakukan pihak yang tidak bertanggung jawab dengan cara berspekulasi untuk membenarkan tuduhannya dengan mencari minimal ada satu mata anggaran yang bisa menjadi dasar pembenarannya. Dan data Perdin itu pun tetap masih salah.
“Konteksnya, cara menggiring peruntukannya dan menggunakan pembanding insentif guru yang sudah paten regulasinya,” ucapnya.
Indra menjelaskan, lagi pun, semua data anggaran itu harus dievaluasi dulu di Kementerian, apakah sudah sesuai standar efisiensi atau belum. Pemerintah bukan asal main buta menganggarkan saja. Jadi jangan dipelintir dengan maksud dan tujuan sengaja menggiring opini negatif. Yang terjadi bukan dengan maksud dan tujuan untuk mengkritik, melainkan lebih menjurus memframing peruntukannya tidak profesional dan tidak proporsional.
“Dari hasil analisa kami, kami berkeyakinan bahwa memang ada upaya murni atau unsur kesengajaan untuk mencari kesalahan Pemerintah, bukan murni untuk tujuan mengkritik, sebab kalau pemberitaan itu sifatnya mengkritik kebijakan publik, maka mengharuskan menyertakan regulasi jika memang regulasinya ada dan sudah diatur,” tutur Indra.
Tuturnya melanjutkan, bahkan regulasi insentif guru tersebut, sebelumnya juga sudah pernah diklarifikasi oleh Pemerintah dan ramai di pemberitaan.
“Media yang mendiskreditkan Pemerintah tersebut kemana saat itu?, mengapa media tersebut juga tidak ikut meliput berita klarifikasi?, tapi giliran mendiskreditkan Pemerintah, medianya kok ugal-ugalan meliput. Ini kan tidak fair, beritanya tidak berimbang. Jadi ini diibaratkan pembunuhan berencana, bukan faktor ketidak sengajaan yang menyebabkan kematian,” tutur Indra menjelaskan.
Diungkap Indra, pihak media terkait juga ada upaya membangun komunikasi dengan kepala BKAD, dan berkunjung ke Biro Hukum untuk dimintai hak jawab, hak klarifikasi.
“Menurut kami itu sudah terlambat. Kalau mereka memang yakin dengan kesahihan beritanya, konsisten saja gass menyerang Pemerintah, tidak usah panik, tidak usah seolah-olah mau tabayyun. Harus punya warna yang jelas dalam menyikapi konsekuensi hukum yang akan kita antarkan ke pihak berwenang, yaitu kepolisian sampai dengan proses di pengadilan nanti. Kita ketemu di sana, kita buktikan di sana,” ucap Indra.
“Kita bertemu di forum yang tepat, daripada berpolemik di media, itu bukan solusi. Yang kita temui hanya perang narasi yang tidak terukur, tidak berkesudahan, dan tidak ketemu ujungnya,” ucapnya lagi menegaskan.
Indra meyakini bahwa ada motivasi terselubung di balik pemberitaan media terkait.
“Kita juga tidak tahu apa motivasinya, makanya atas dasar pemberitaannya yang kami anggap tidak berdasar itulah yang membuat pihak kami mengantisipasi dan enggan untuk merespon,”
Indra kemudian menganalogikan.
“Saya pikir semua orang akan melakukan hal yang sama, Ia akan berat mau membuka pintu kalau yang ketuk pintu gelagatnya mencurigakan, kalau Ia sangat meragukan niat baik orang bertamu,”
Lanjut Indra memberikan analogi hukum.
“Kalau seseorang bertamu dan mengucap salam, tapi tidak ada yang menjawab salamnya, apakah itu bermakna dia boleh nyelonong dan bebas berekspresi?, masuk kamar orang, mandi di rumah orang, pakai pakaian dalam orang, masak indomie sesukanya di dapur orang, dan lain-lain semau dan sesukanya dia?, apakah ada aturan yang membolehkan seperti itu?
Kalau kita tidak menjawab maunya, apakah kemudian itu bermakna dia boleh ngarang-ngarang seenaknya, lalu menyebarkan ngarang-ngarangnya kemana-mana lewat pemberitaannya?. Apakah dengan tidak menjawab, lantas itu berarti kalau ngarang-ngarang bukanlah suatu pelanggaran?
Apakah menyebarkan informasi dengan data sembarangan tidak melanggar aturan jika seseorang tidak memperoleh informasi atau data yang diinginkannya?
Apakah kepolisian boleh menangkap orang lain jika pelakunya tidak ketemu?, kalau asal tangkap, itu ‘kan definisi ngarang-ngarang.
Apakah bukan pelanggaran kalau polisinya ngarang-ngarang data untuk menyalahkan orang lain, karena pelaku aslinya gagal ditangkap?. Bahkan menangkap pelaku asli pun, adalah suatu pelanggaran jika pihak kepolisian ngarang-ngarang data yang berkaitan dengan pelaku.
Jadi, jangan malah seperti anak kecil yang kalau nggak diajak main petak umpet, terus nangis,” tutup Indra.
Pernyataan terpisah oleh Ketua KI Kaltara, Fajar Mentari, saat dimintai pendapat terkait pernyataan Ketua DPRD Kaltara tentang data Perdin yang tidak sinkron dengan pernyataan Ketua KI di ramai pemberitaan sebelumnya.
“Saya pastikan media itu salah menangkap atau menginterpretasikan apa yang dimaksud Ketua DPRD, sebab data yang diobral di pemberitaan itu sungguh-sungguh hoaks,” terangnya.
Sebagai bahan edukasinya, Fajar juga menganalogikan, jika seseorang mengurus SIM (Surat Izin Mengemudi), tetapi tidak dilayani dengan semestinya, bukan berarti seseorang itu boleh membuat keterangan palsu, data palsu, bikin SIM palsu.
“Ada mekanismenya, ada Propam yang nanti menyelidiki, apakah seseorang itu tidak dilayani karena alasan kurang lengkap administrasi, atau etikanya tidak etis saat mengurus SIM, atau faktor lain yang membuatnya tidak dilayani dengan baik, ataukah memang polisi pelayanan SIM-nya yg tidak profesional dalam memberikan pelayanan,” jelasnya.
Fajar pun turut memberikan logika sederhana.
“Logika sederhananya, kalau kita benar, ‘kan bukan berarti yang lain pasti salah. Misalnya kita sudah benar menyebutnya harimau, bukan berarti orang lain salah jika Ia menyebutnya itu macan. Atau kalau kita sudah benar menyebutnya kera, jangan menuduh orang lain salah ketika Ia menyebutnya monyet,” lanjutnya memberi analogi.
Fajar berharap agar ke depan setiap pemberitaan bisa lebih bijak dalam membangun narasi. Terutama jika mengkritik kebijakan publik, seyogianya menyertakan regulasi.
“Jadi kita juga harus bijak menyikapi setiap persoalan. Jangan ketika kita berpikir kalau kita sudah benar, maka itu otomatis yang lain menjadi salah. Atau kalau kita salah, lantas itu sudah pasti orang lain yang benar,” ucap Fajar menjelaskan.
“Sama dengan polemik ini. Anggaplah BKAD salah. Jangan berarti kemudian pihak media boleh semaunya dan sesukanya melanggar ketentuan dengan menyebarkan informasi hoaks. Sama halnya kalau seorang pria ditolak cintanya oleh seorang wanita, bukan berarti menghalalkan dukun bertindak. Dengan kata lain harus objektif dalam mengambil sikap,” imbuhnya menjelaskan. (*)
Discussion about this post