NRT, Samarinda : Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Samarinda dalam perkara No. 10/G/2025/PTUN.SMD antara Penggugat PT. Sanjung Maakmur dan Tergugat Kepala Dinas DPMPTSP Kabupaten Tana Tidung dan Tergugat II Intervensi PT. Borneo Agro Sakti menuai sorotan tajam dari kalangan akademisi dan praktisi hukum.
Majelis hakim dinilai mengabaikan fakta-fakta persidangan yang menunjukkan bahwa izin milik PT. Sanjung Makmur selaku Penggugat telah terbit lebih dahulu dan masih berlaku, sebelum DPMPTSP KTT selaku Tergugat menerbitkan Persetujuan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang (PKKPR) kepada PT. Borneo Agro Sakti (Tergugat Intervensi).
Dalam persidangan, Penggugat menghadirkan bukti surat dan saksi yang menegaskan bahwa izin usaha atas lokasi sengketa telah diperoleh secara sah dan digunakan untuk kegiatan persiapan usaha. Namun, Tergugat tetap menerbitkan PKKPR kepada Tergugat II Intervensi atas lokasi yang sama, tanpa proses verifikasi atau pencabutan izin yang telah ada.
“Ini bentuk nyata maladministrasi. Penerbitan PKKPR seharusnya mempertimbangkan izin yang telah ada agar tidak terjadi konflik hukum,” ujar salah satu ahli hukum tata usaha negara yang dihadirkan dalam persidangan.
Dalam Fakta persidangan juga terungkap bahwa penerbitan PKKPR oleh Tergugat DPMPTSP KTT kepada Tergugat Intervensi PT. Borneo Agro sakti juga terdapat cacat prosedur dan Substansi yang nyata, namun hal ini juga diabaikan oleh majlis hakim NIDAUL KHAIRAT, S.H.I., S.H., M.Kn. sebagai Hakim Ketua Majelis, HIDAYAT PRATAMA PUTRA, S.H., M.H. dan ANGGA PRASTYO, S.H., M.H. masing-masing sebagai Hakim Anggota. Banyak yang mempertanyakan sebenarnya ada apa dengan majlis hakis dan Pengadilan Tata Usaha Negara Samarinda ini.
Majelis hakim dalam putusannya menyatakan bahwa penerbitan PKKPR telah sesuai prosedur formal dan tidak menimbulkan kerugian nyata. Pernyataan ini dinilai bertentangan dengan fakta persidangan dan prinsip-prinsip asas umum pemerintahan yang baik (AUPB), seperti asas kecermatan, kepastian hukum, dan perlindungan terhadap hak yang telah ada.
“Putusan ini sangat berbahaya secara preseden. Jika dibiarkan, akan membuka ruang bagi tumpang tindih izin dan konflik pemanfaatan ruang yang merugikan masyarakat dan pelaku usaha,” tegas salah satu pengamat hukum administrasi negara yang tak mau disebutkan namanya. Betapa tidak bagai mana bisa diterbitkan izin diatas izin yang sudah ada dalam komuditas yang sama tanpa memperjelas kedudukan dan status hukum yang jelas terlebih dulu terhadap periziinan yang sudah ada.
Afrijon Ponggok Direktur PT. Sanjung Makmur selaku Penggugat pada perkara ini berencana mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi TUN dengan membawa bukti-bukti yang telah diabaikan serta analisis yuridis yang menunjukkan pelanggaran terhadap prinsip due process of law ini. Kita sedang mempertimbangkan unntuk menempuh Upaya Hukum banding ke tingkat Pengadilan Tinggi TUN untuk mencari keadilan dan kepastian hukum dan akan melaporkan keputusan ini kepada Badan Pengawas Mahkamah Agung serta Komisi Yudisial kata Afrijon dalam menanggapi putusan ini.
Publik kini menanti apakah lembaga peradilan tingkat lanjut akan mengoreksi kejanggalan ini dan mengembalikan keadilan administratif yang seharusnya dijunjung tinggi. (*)
Discussion about this post